ETIKA DALAM BISNIS
Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan
dengan ”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari perilaku
manusia. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak
dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai baik atau
buruk. Sedangkan Penentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah.
Etika bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan
manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan
bisnis yang etik. Paradigma etika dan bisnis adalah dunia yang berbeda sudah
saatnya dirubah menjadi paradigma etika terkait dengan bisnis atau
mensinergikan antara etika dengan laba. Justru di era kompetisi yang ketat ini,
reputasi perusahaan yang baik yang dilandasi oleh etika bisnis merupakan sebuah
competitive advantage yang sulit ditiru. Oleh karena itu, perilaku etik penting
diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis. Kata
Kunci: Etika, Bisnis, Moral
Permasalahan Etika dalam Bisnis Beberapa hari terakhir
ada dua berita yang mempertanyakan apakah etika dan bisnis berasal dari dua
dunia berlainan. Pertama, melubernya lumpur dan gas panas di Kabupaten Sidoarjo
yang disebabkan eksploitasi gas PT Lapindo Brantas. Kedua, obat antinyamuk HIT
yang diketahui memakai bahan pestisida berbahaya yang dilarang penggunaannya
sejak tahun 2004. Dalam kasus Lapindo, bencana memaksa penduduk harus ke rumah
sakit. Perusahaan pun terkesan lebih mengutamakan penyelamatan aset-asetnya
daripada mengatasi soal lingkungan dan sosial yang ditimbulkan. Pada kasus HIT,
meski perusahaan pembuat sudah meminta maaf dan berjanji akan menarik
produknya, ada kesan permintaan maaf itu klise. Penarikan produk yang
kandungannya bisa menyebabkan kanker itu terkesan tidak sungguh-sungguh
dilakukan. Produk berbahaya itu masih beredar di pasaran. Atas kasus-kasus itu,
kedua perusahaan terkesan melarikan diri dari tanggung jawab. Sebelumnya, kita
semua dikejutkan dengan pemakaian formalin pada pembuatan tahu dan pengawetan
ikan laut serta pembuatan terasi dengan bahan yang sudah
berbelatung. Dari kasus-kasus yang disebutkan sebelumnya, bagaimana
perusahaan bersedia melakukan apa saja demi laba. Wajar bila ada kesimpulan,
dalam bisnis, satu-satunya etika yang diperlukan hanya sikap baik dan sopan
kepada pemegang saham. Harus diakui, kepentingan utama bisnis adalah
menghasilkan keuntungan maksimal bagi shareholders. Fokus itu membuat
perusahaan yang berpikiran pendek dengan segala cara berupaya
melakukan hal-hal yang bisa meningkatkan keuntungan.
Kompetisi semakin ketat dan konsumen yang kian rewel sering menjadi
faktor pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam berbisnis.
Namun, belakangan beberapa akademisi dan
praktisi bisnis melihat adanya hubungan
sinergis antara etika dan laba. Menurut mereka, justru di era
kompetisi yang ketat ini, reputasi baik merupakan sebuah competitive advantage
yang sulit ditiru. Salah satu kasus yang sering dijadikan acuan adalah
bagaimana Johnson & Johnson (J&J) menangani kasus keracunan Tylenol
tahun 1982. Pada kasus itu, tujuh orang dinyatakan mati secara misterius
setelah mengonsumsi Tylenol di Chicago. Setelah diselidiki, ternyata Tylenol
itu mengandung racun sianida. Meski penyelidikan masih dilakukan guna
mengetahui pihak yang bertanggung jawab, J&J segera menarik 31 juta botol
Tylenol di pasaran dan mengumumkan agar konsumen berhenti mengonsumsi produk
itu hingga pengumuman lebih lanjut. J&J bekerja sama dengan polisi, FBI,
dan FDA (BPOM- nya Amerika Serikat) menyelidiki kasus itu. Hasilnya
membuktikan, keracunan itu disebabkan oleh pihak lain yang memasukkan sianida
ke botol-botol Tylenol. Biaya yang dikeluarkan J&J dalam kasus itu lebih
dari 100 juta dollar AS. Namun, karena kesigapan dan tanggung jawab yang mereka
tunjukkan, perusahaan itu berhasil membangun reputasi bagus yang masih
dipercaya hingga kini. Begitu kasus itu diselesaikan, Tylenol dilempar kembali
ke pasaran dengan penutup lebih aman dan produk itu segera kembali menjadi
pemimpin pasar (market leader) di Amerika Serikat. Secara jangka panjang,
filosofi J&J yang meletakkan keselamatan konsumen di atas kepentingan
perusahaan berbuah keuntungan lebih besar kepada perusahaan. Doug Lennick
dan Fred Kiel, 2005 (dalam Itpin, 2006) penulis buku Moral Intelligence,
berargumen bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki pemimpin yang menerapkan
standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang.
Hal sama juga dikemukakan miliuner Jon M Huntsman, 2005 (dalam Itpin, 2006)
dalam buku Winners Never Cheat. Dikatakan, kunci utama kesuksesan adalah
reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh integritas dan kepercayaan
pihak lain. Berkaca pada beberapa contoh kasus itu, sudah saatnya kita
merenungkan kembali cara pandang lama yang melihat etika dan bisnis sebagai dua
hal berbeda. Memang beretika dalam bisnis tidak akan memberi keuntungan segera.
Karena itu, para pengusaha dan praktisi bisnis harus belajar untuk berpikir
jangka panjang. Peran masyarakat, terutama melalui pemerintah, badan-badan
pengawasan, LSM, media, dan konsumen yang kritis amat dibutuhkan untuk membantu
meningkatkan etika bisnis berbagai perusahaan di Indonesia. Sebuah studi selama
dua tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri
dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank,
Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah
lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning
per share) perusahaan, mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam
mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi. Di tahun 1999, jurnal Business
and Society Review menulis bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan
komitmen dengan publik yang berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan
market value added sampai dua- tiga kali daripada perusahaan lain yang tidak
melakukan hal serupa. Bukti lain, seperti riset yang dilakukan oleh DePaul
University di tahun 1997 menemukan bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen
korporat mereka dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja
finansial (berdasar penjualan tahunan/revenue) yang lebih bagus dari perusahaan
lain yang tidak melakukan hal serupa (lihat Iman, 2006).
Praktik
Bisnis Masih Abaikan Etika Rukmana (2004) menilai praktik bisnis yang
dijalankan selama ini masih cenderung mengabaikan etika, rasa keadilan dan
kerapkali diwarnai praktik-praktik bisnis tidak terpuji atau moral hazard.
Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin meluas di masyarakat yang
sebelumnya hanya di tingkat pusat dan sekarang meluas sampai ke daerah-daerah,
dan meminjam istilah guru bangsa yakni Gus Dur, korupsi yang
sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya dikorupsi adalah
bentuk moral hazard di kalangan ekit politik dan elit birokrasi. Hal ini
mengindikasikan bahwa di sebagian masyarakat kita telah terjadi krisis moral
dengan menghalalkan segala mecam cara untuk mencapai tujuan, baik tujuan
individu memperkaya diri sendiri maupun tujuan kelompok untuk eksistensi
keberlanjutan kelompok. Terapi ini semua adalah pemahaman, implementasi dan
investasi etika dan nilai-nilai moral bagi para pelaku bisnis dan para elit
politik. Dalam kaitan dengan etika bisnis, terutama bisnis berbasis
syariah, pemahaman para pelaku usaha terhadap ekonomi syariah selama ini
masih cenderung pada sisi "emosional" saja dan terkadang
mengkesampingkan konteks bisnis itu sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi
syariah cukup luas, baik itu untuk usaha perbankan maupun asuransi syariah. Dicontohkan,
segmen pasar konvensional, meski tidak "mengenal" sistem syariah,
namun potensinya cukup tinggi. Mengenai implementasi etika bisnis tersebut,
Rukmana mengakui beberapa pelaku usaha memang sudah ada yang mampu menerapkan
etika bisnis tersebut. Namun, karena pemahaman dari masing-masing pelaku usaha
mengenai etika bisnis berbeda-beda selama ini, maka implementasinyapun berbeda
pula, Keberadaan etika dan moral pada diri seseorang atau sekelompok
orang sangat tergantung pada kualitas sistem kemasyarakatan yang melingkupinya.
Walaupun seseorang atau sekelompok orang dapat mencoba mengendalikan kualitas
etika dan moral mereka, tetapi sebagai sebuah variabel yang sangat rentan
terhadap pengaruh kualitas sistem kemasyarakatan, kualitas etika dan moral seseorang
atau sekelompok orang sewaktu-waktu dapat berubah. Baswir (2004) berpendapat
bahwa pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis sesungguhnya tidak terlalu
relevan bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral, masalah tertib hukum
pun masih belum banyak mendapat perhatian. Sebaliknya, justru sangat lumrah di
negeri ini untuk menyimpulkan bahwa berbisnis sama artinya dengan menyiasati
hukum. Akibatnya, para pebisnis di Indonesia tidak dapat lagi membedakan antara
batas wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum. Wilayah etika dan moral
adalah sebuah wilayah pertanggungjawaban pribadi. Sedangkan wilayah hukum
adalah wilayah benar dan salah yang harus dipertanggungjawabkan di depan
pengadilan. Akan tetapi memang itulah kesalahan kedua dalam memahami masalah
etika dan moral di Indonesia. Pencampuradukan antara wilayah etika dan moral
dengan wilayah hukum seringkali menyebabkan kebanyakan orang Indonesia tidak
bisa membedakan antara perbuatan yang semata-mata tidak sejalan dengan
kaidah-kaidah etik dan moral, dengan perbuatan yang masuk kategori perbuatan
melanggar hukum. Sebagai misal, sama sekali tidak dapat dibenarkan bila masalah
korupsi masih didekati dari sudut etika dan moral. Karena masalah korupsi sudah
jelas dasar hukumnya, maka masalah itu haruslah didekati secara hukum. Demikian
halnya dengan masalah penggelapan pajak, pencemaran lingkungan, dan pelanggaran
hak asasi manusia.
Pentingnya Etika dalam Dunia Bisnis Perubahan
perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi
dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus ditempuh?. Didalam bisnis
tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan tindakan
yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau sudah
demikian, pengusaha yang menjadi pengerak motor perekonomian akan berubah
menjadi binatang ekonomi. Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia bisnis
tampaknya tidak menampakan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin
meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan
masyarakat, tidak memperhatikan sumber daya alam maupun tindakan kolusi dan
suap merupakan segelintir contoh pengabaian para pengusaha terhadap etika
bisnis. Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada
norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat
yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta etika-etika tertentu dalam
kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika
bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung.
Dengan memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat bahwa
prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat
interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam satu negara, tetapi meliputi
berbagai negara yang terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia yang
nuansanya kini telah berubah. Perubahan nuansa perkembangan dunia itu menuntut
segera dibenahinya etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi dunia
usaha terlalu jauh tertinggal dari pertumbuhan serta perkembangan dibidang
ekonomi.
Jalinan hubungan usaha dengan pihak-pihak lain yang
terkait begitu kompleks. Akibatnya, ketika dunia usaha melaju pesat, ada
pihak-pihak yang tertinggal dan dirugikan, karena peranti hukum dan aturan main
dunia usaha belum mendapatkan perhatian yang seimbang. Salah satu contoh
yang selanjutnya menjadi masalah bagi pemerintah dan dunia usaha adalah masih
adanya pelanggaran terhadap upah buruh. Hal lni menyebabkan beberapa produk
nasional terkena batasan di pasar internasional. Contoh lain adalah
produk-produk hasil hutan yang mendapat protes keras karena pengusaha Indonesia
dinilai tidak memperhatikan kelangsungan sumber alam yang sangat
berharga. Perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka
panjang dalam sebuah bisnis. Pentingnya etika bisnis tersebut berlaku untuk
kedua perspektif, baik lingkup makro maupun mikro, yang akan dijelaskan sebagai
berikut: 1. Perspektif Makro. Pertumbuhan suatu negara tergantung
pada market system yang berperan lebih efektif dan efisien daripada command
system dalam mengalokasikan barang dan jasa. Beberapa kondisi yang diperlukan
market system untuk dapat efektif, yaitu: (a) Hak memiliki dan mengelola
properti swasta; (b) Kebebasan memilih dalam perdagangan barang dan jasa; dan
(c) Ketersediaan informasi yang akurat berkaitan dengan barang dan jasa Jika
salah satu subsistem dalam market system melakukan perilaku yang tidak etis,
maka hal ini akan mempengaruhi keseimbangan sistem dan menghambat pertumbuhan
sistem secara makro. Pengaruh dari perilaku tidak etik pada perspektif
bisnis makro : a. Penyogokan atau suap. Hal ini akan mengakibatkan
berkurangnya kebebasan memilih dengan cara mempengaruhi pengambil
keputusan. b. Coercive act. Mengurangi kompetisi yang efektif antara
pelaku bisnis dengan ancaman atau memaksa untuk tidak berhubungan dengan pihak
lain dalam bisnis. c. Deceptive information d. Pecurian dan penggelapan
e. Unfair discrimination. 2. Perspektif Bisnis Mikro. Dalam Iingkup
ini perilaku etik identik dengan kepercayaan atau trust. Dalam Iingkup mikro
terdapat rantai relasi di mana supplier, perusahaan, konsumen, karyawan saling
berhubungan kegiatan bisnis yang akan berpengaruh pada Iingkup makro. Tiap mata
rantai penting dampaknya untuk selalu menjaga etika, sehingga kepercayaan yang
mendasari hubungan bisnis dapat terjaga dengan baik.
Standar moral merupakan tolok ukur etika bisnis.
Dimensi etik merupakan dasar kajian dalam pengambilan keputusan. Etika bisnis
cenderung berfokus pada etika terapan daripada etika normatif. Dua prinsip yang
dapat digunakan sebagai acuan dimensi etik dalam pengambilan keputusan, yaitu:
(1) Prinsip konsekuensi (Principle of Consequentialist) adalah konsep etika
yang berfokus pada konsekuensi pengambilan keputusan. Artinya keputusan dinilai
etik atau tidak berdasarkan konsekuensi (dampak) keputusan tersebut; (2)
Prinsip tidak konsekuensi (Principle of Nonconsequentialist) adalah terdiri
dari rangkaian peraturan yang digunakan sebagai petunjuk/panduan pengambilan
keputusan etik dan berdasarkan alasan bukan akibat, antara lain: (a) Prinsip
Hak, yaitu menjamin hak asasi manusia yang berhubungan dengan kewajiban untuk
tidak saling melanggar hak orang lain; (b) Prinsip Keadilan, yaitu
keadilan yang biasanya terkait dengan isu hak, kejujuran, dan
kesamaan. Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: (1)
Keadilan distributive, yaitu keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi
benefit dan beban antar anggota kelompok sesuai dengan kontribusi tenaga dan
pikirannya terhadap benefit. Benefit terdiri dari pendapatan, pekerjaan,
kesejahteraan, pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri dari tugas kerja,
pajak dan kewajiban social; (2) Keadilan retributive, yaitu keadilan yang
terkait dengan retribution (ganti rugi) dan hukuman atas kesalahan tindakan.
Seseorang bertanggungjawab atas konsekuensi negatif atas tindakan yang
dilakukan kecuali tindakan tersebut dilakukan atas paksaan pihak lain; dan (3)
Keadilan kompensatoris, yaitu keadilan yang terkait dengan kompensasi bagi
pihak yang dirugikan. Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan medis,
pelayanan dan barang penebus kerugian. Masalah terjadi apabila kompensasi tidak
dapat menebus kerugian, misalnya kehilangan nyawa manusia. Apabila moral
merupakan suatu pendorong orang untuk melakukan kebaikan, maka etika bertindak
sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua
anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan
etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang,
selaras, dan serasi. Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat
akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang
terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di
dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam
kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Tentu dalam hal ini, untuk
mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara
semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar
jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain
berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang
tidak mengetahui dan menyetujui adanya moral dan etika, jelas apa yang
disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi,
jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya
kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang
bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun
dalam perekonomian. Dalam menciptakan etika bisnis, Dalimunthe (2004)
menganjurkan untuk memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pengendalian Diri Artinya, pelaku-pelaku
bisnis mampu mengendalikan diri mereka masing- masing untuk tidak memperoleh
apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis
sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang atau memakan
pihak lain dengan menggunakan keuntungan tersebut. Walau keuntungan yang
diperoleh merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus
memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang
"etik".
2. Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Social
Responsibility) Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan
masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan
sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan
yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi
sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi
pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan
yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus
mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap
masyarakat sekitarnya. Tanggung jawab sosial bisa dalam bentuk kepedulian
terhadap masyarakat di sekitarnya, terutama dalam hal pendidikan, kesehatan,
pemberian latihan keterampilan, dll.
3. Mempertahankan Jati Diri Mempertahankan
jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya
perkembangan informasi dan teknologi adalah salah satu usaha menciptakan etika
bisnis. Namun demikian bukan berarti etika bisnis anti perkembangan
informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan
untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan
budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Menciptakan Persaingan yang Sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas,
tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya harus
terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah
kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan
spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan
persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis
tersebut.
5. Menerapkan Konsep “Pembangunan
Berkelanjutan" Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan
hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan
dimasa datang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi"
lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan
lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan
kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari Sifat 5K (Katabelece,
Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap
seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan
korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis
ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan
negara.
7. Mampu Menyatakan yang Benar itu Benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit
(sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan
"katabelece" dari "koneksi" serta melakukan
"kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk
mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang
terkait.
8. Menumbuhkan Sikap Saling Percaya antar
Golongan Pengusaha Untu menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif"
harus ada sikap saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan
golongan pengusaha lemah, sehingga pengusaha lemah mampu berkembang bersama
dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan
itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya
memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah
dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan Konsisten dengan Aturan main
Bersama Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat
terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika
tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara
ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk
melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep
etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.
10. Memelihara Kesepakatan Memelihara
kesepakatan atau menumbuhkembangkan Kesadaran dan rasa Memiliki terhadap apa
yang telah disepakati adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Jika
etika ini telah dimiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu
ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Menuangkan ke dalam Hukum Positif Perlunya
sebagian etika bisnis dituangkan dalam suatu hukum positif yang menjadi
Peraturan Perundang-Undangan dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dari
etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha
lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat
sekarang ini sudah
dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi
dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini. Dengan
adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk
melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi. Ahli pemberdayaan
kepribadian Uno (2004) menjelaskan bahwa mempraktikkan bisnis dengan etiket
berarti mempraktikkan tata cara bisnis yang sopan dan santun sehingga kehidupan
bisnis menyenangkan karena saling menghormati. Etiket berbisnis diterapkan pada
sikap kehidupan berkantor, sikap menghadapi rekan-rekan bisnis, dan sikap di
mana kita tergabung dalam organisasi. Itu berupa senyum -- sebagai apresiasi
yang tulus dan terima kasih, tidak menyalahgunakan kedudukan, kekayaan, tidak
lekas tersinggung, kontrol diri, toleran, dan tidak memotong pembicaraan orang
lain. Dengan kata lain, etiket bisnis itu memelihara suasana yang menyenangkan,
menimbulkan rasa saling menghargai, meningkatkan efisiensi kerja, dan
meningkatkan citra pribadi dan perusahaan. Sedangkan berbisnis dengan etika
bisnis adalah menerapkan aturan-aturan umum mengenai etika pada perilaku
bisnis. Etika bisnis menyangkut moral, kontak sosial, hak-hak dan kewajiban,
prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Jika aturan secara umum mengenai etika
mengatakan bahwa berlaku tidak jujur adalah tidak bermoral dan beretika, maka
setiap insan bisnis yang tidak berlaku jujur dengan pegawainya, pelanggan,
kreditur, pemegang usaha maupun pesaing dan masyarakat, maka ia dikatakan tidak
etis dan tidak bermoral. Intinya adalah bagaimana kita mengontrol diri kita
sendiri untuk dapat menjalani bisnis dengan baik dengan cara peka dan
toleransi.
Tiga Prinsip Universal Kasus yang paling gampang
adalah Enron, sebuah perusahaan enerji yang sangat bagus. Sebagai salah satu
perusahaan yang menikmati booming industri energi di tahun 1990an, Enron sukses
menyuplai energi ke pangsa pasar yang begitu besar dan memiliki jaringan yang
luar biasa luas. Enron bahkan berhasil menyinergikan jalur transmisi energinya untuk
jalur teknologi informasi. Kalau dilihat dari siklus bisnisnya, Enron memiliki
profitabilitas yang cukup menggiurkan. Seiring booming industri energi, Enron
memosisikan dirinya sebagai energy merchants: membeli natural gas dengan harga
murah, kemudian dikonversi dalam energi listrik, lalu dijual dengan mengambil
profit yang lumayan dari markup sale of power atau biasa disebut “spark
spread“.
Sebagai sebuah entitas bisnis, Enron pada awalnya
adalah anggota pasar yang baik, mengikuti peraturan yang ada di pasar dengan
sebagaimana mestinya. Pada akhirnya, Enron meninggalkan prestasi dan reputasi
baik tersebut. Sebagai perusahaan Amerika terbesar kedelapan, Enron kemudian
tersungkur kolaps pada tahun 2001. Tepat satu tahun setelah California energy
crisis. Seleksi alam akhirnya berlaku. Perusahaan yang bagus akan mendapat
reward, sementara yang buruk akan mendapat punishment. Termasuk juga
pihak-pihak yang mendukung tercapainya hal tersebut — dalam hal ini Arthur
Andersen. Bisa saja kita menipu seseorang, tetapi tak akan mungkin
selamanya menipu, kan? Apa enaknya hidup penuh tipu-tipu yang tidak akan pernah
menentramkan batin. Kasus Enron membuktikan bahwa pelaku bisnis yang curang
akan menunggu waktu saja masuk jurang, sedangkan yang jujur tidak akan pernah
hancur dan menunggu waktu saja untuk mujur. Hal ini dijastifikasi oleh
hukum besi yang tidak bisa dielakkan oleh siapan karena menyangkut nasib
manusia, termasuk pelaku- pelaku bisnis kotor atau tidak beretika yang penuh
tipu-tipu yaitu, ”Hukum Sebab- Akibat”, ”Aksi-Reaksi”, dan ”Menabur-Menuai”
adalah kebenaran sepanjang zaman, prinsip universal yang telah ada sejak awal
sejarah. Dalam Agama Hindu rangkuman ketiga hukum besi ini tidak lain
adalah ”Karma- Pahala”, di mana Karma = Sebab, Aksi, Menabur, dan Pahala =
Akibat, Reaksi, Menuai. Artinya, apapun yang diperbuat oleh seseorang, kelak
itulah yang Dia petik. Jika seseorang berbuat jahat terhadap orang lain, maka
hasil kejahatan yang akan mereka nikmati, sebaliknya jika perbuatan baik mereka
taburkan maka hasil perbuatan baik yang akan mereka tuai atau
hasilkan.